Senin, 08 Juni 2009

reformasi Mei 1998

Reformasi telah menginjak usianya yang ke-10. Sebuah perjalanan yang panjang bagi perwujudan harapan rakyat Indonesia. Pemerintahan telah berganti sebanyak 4 kali - Habibie, Gusdur, Megawati, SBY- semenjak keruntuhan rezim The Smiling General, Soeharto. Lantas bagaimanakah nasib Reformasi Indonesia?


Reformasi pecah di tahun 1998, ia adalah titik kulminasi dari keterbelengguan dan pengkebirian kedaulatan rakyat. Ketika suara-suara rakyat dibungkam. Mahasiswa mengambil perannya sebagai agent of change (agen perubahan) dalam struktur diktatorial, hal ini pada akhirnya menggiring bangsa Indonesia menuju kehidupan yang lebih demokratis.

Inilah Agenda Reformasi 1998
  1. Penegakan supremasi hukum.
  2. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
  3. Pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya.
  4. Amandemen konstitusi
  5. Pencabutan dwifungsi TNI/Polri.
  6. Pemberian otonomi daerah seluas- luasnya.
Kini, di tahun 2008, mahasiswa se-Indonesia kembali bergabung menuntut pemerintah menandatangani sebuah kontrak politik yang terdiri dari tujuh pasal yaitu,

Tujuh Tuntutan Rakyat
  1. Nasionalisasi asset strategis bangsa.
  2. Wujudkan pendidikan bermutu dan pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau, dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
  3. Tuntaskan kasus BLBI dan korupsi Soeharto beserta kroni-kroninya sebagai wujud kepastian hukum di Indonesia.
  4. Kembalikan kedaulatan bangsa pada sektor pangan, ekonomi dan energi.
  5. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan pokok bagi rakyat.
  6. Tuntaskan Reformasi birokrasi dan berantas mafia peradilan.
  7. Selamatkan lingkungan Indonesia dan tuntut Lapindo Brantas untuk mengganti rugi seluruh dampak dari lumpur Lapindo.
Kontrak politik ini dimaksudkan untuk meminta komitmen dari pemerintah agar secara serius dan konsekwen melaksanakan amanah rakyat, bukan amanah partai atau segelintir orang.

"Tugu Rakyat" adalah agenda baru Reformasi Indonesia yang perlu diselesaikan, ia adalah Amanat penderitaan rakyat yang telah dinegasikan kedalam tujuh butir tuntutan. Agenda reformasi sebelumnya belum sepenuhnya tercapai, sementara kompleksitas masalah-yang juga diakibatkan tidak tuntasnya agenda ini- semakin menggunung. Maka, mahasiswa- si agent of change- kembali menyuarakan sebuah cita-cita masyarakat Indonesia yaitu berkedaulatan rakyat menuju keadilan sosial. Namun jika SBY-JK tidak juga menanggapi kontrak politik tersebut, ini adalah suatu indikasi ignoransi pemerintah dan keberpihakan akan kepentingan pribadi dan golongan. Ataukah pemerintah telah memilih agenda reformasinya sendiri, me-reformasi Indonesia ke arah liberalisasi? (melihat usaha-usaha kearah liberalisasi di berbagai aspek di negeri ini, salah satu yang terbaru adalah pembentukan Badan Hukum Pendidikan yang mengasosiasikan pendidikan sebagai ladang usaha layaknya sebuah perusahaan, bayangkan ketika sebuah sekolah ditanami modal asing? bayangkan ketika sebuah sekolah mengalami pailit dan kebangkrutan? pemerintah tidak mau memberikan subdisi).

Sedangkan Reformasi Indonesia bukanlah reformasi menuju liberalisasi, ia berada diranah Pancasila. Ia berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berlandaskan persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

peringatan satu dekade reformasi ini adalah sebuah momentum bangkitnya kesadaran reformasi indonesia... reformasi-nya indonesia dengan jiwa keindonesiaan (pancasila).


to be continued
..........................................................








http://bicarapadabulan.blogspot.com/

Faktor Penyebab berganti-gantinya Kabinet pada Masa demokrasi Liberal

Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.

Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.

Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.

Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen.

Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.
http://bicarapadabulan.blogspot.com/search/label/Kabinet

Proposal Penelitian Sejarah

SUTAN SJAHRIR PERANAN DAN PEMIKIRAN DALAM REVOLUSI INDONESIA

A. Latar belakang

17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya setelah melalui serangkaian perjuangan demi perjuangan baik secara kooperasi maupun non-kooperasi kepada Pemerintahan Belanda lalu Jepang yang menduduki Indonesia sejak 1942.

Pada masa pendudukan Jepang ini, nama Sutan Sjahrir muncul sebagai pusat oposisi terhadap Jepang yang paling terkemuka. Sebagai seorang politikus yang berpengalaman perhitungan-perhitungan Sjahrir terutama bersifat taktis. Ia tidak pernah percaya bahwa Jepang dapat memenangkan peperangan, dan pada akhir bulan Juli dan Agustus ia mengetahui dari siaran-siaran sekutu bahwa jepang hampir ambruk.

Sementara itu kedudukan Jepang dalam perang melawan Sekutu juga bertambah buruk, dan harapan untuk menang semakin berkurang.[1]

Menurut pendapatku riwayat Jepang sudah tamat, dan kini akhirnya datang kesempatan untuk menarik garis yang setegas-tegasnya antara posisi Jepang dan posisi Indonesia.[2]

Ia percaya bahwa suatu prasyarat mutlak bagi pengakuan sekutu di kemudian hari adalah bahwa kemerdekaan harus dilihat sebagai suatu yang datang melalui perlawanan terhadap penguasa Jepang, bukan hadiah dari mereka.

Sjahrir mengambil garis politik perjuangan bawah tanah antifasis[3], melakukan perluasan jaringan dan kaderisasi yang sebagian besar dari PNI baru serta kader dari golongan mahasiswa progresif., memelihara jaringan hubungan bawah tanah di jawa. Sjahrir percaya bahwa akhirnya sekutu akan menang di pasifik, dan mempersiapkan diri bagi kemungkinan itu dengan menyebarkan informasi berharga dari luar dan memupuk jiwa skeptis terhadap jepang.[4] Berbeda dengan Soekarno dan Hatta yang lebih memilih bekerja sama dengan pemerintahan jepang. sehingga Sjahrir -yang kemudian menduduki posisi pedana menteri merangkap menteri luar negeri dan menteri dalam negeri, di mata sekutu, Sjahrir lebih dapat diterima

Di masa revolusi fisik, karier Sjahrir dibidang politik dan diplomasi bermula sejak keluarnya Maklumat Wakil Presiden tertanggal 16 Oktober 1945, dimana ia terpilih sebagai Ketua Badan Pekerja KNIP, diserahi kekuasaan legislatif, untuk bersama-sama dengan Presiden menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara[5]. Sejak tanggal 14 November 1945 Sjahrir naik ke pucuk pimpinan pemerintahan sebagai perdana menteri pertama Indonesia dalam usia 36 tahun. kepemimpinan Sjahrir berlangsung dalam 3 periode yaitu :

1. Kabinet pertama, 14 November 1945 - 12 Maret 1946

2. Kabinet kedua, 13 Maret 1946 - 2 Oktober 1946

3. Kabinet ketiga, 2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947

Kabinet pertama Sjahrir berisikan teman-teman dekat Sjahrir yang tidak pernah bekerja sama dengan Jepang. Kabinet kedua dan ketiganya lebih bersifat nasional karena melibatkan hampir semua unsur golongan.

Kemunculan Sjahrir dalam pimpinan pemerintahan Republik Indonesia saat itu dimungkinkan faktor-faktor politis yang menguntungkan, terutama dalam menghadapi dunia internasional, khususnya pihak sekutu yang memenangkan perang Dunia II. faktor-faktor tersebut adalah :

  1. Sekutu berada dipihak yang menang dalam perang dan Jepang berada di pihak yang kalah.
  2. Dimasa pendudukan fasis jepang, Soekarno dan Hatta telah memilih bekerja sama dengan pemerintah jepang shingga Soekarno dan Hatta oleh lawan-lawan politik maupun sekutu dipandang sebagai kolaborator Jepang.
  3. Tampilnya Soekarno sesudah proklamasi sebagai pimpinan eksekutif dalam negara republik indonesia serta tiadanya partai-partai politik, dikhawatirkan akan menimbulkan kecurigaan dipihak sekutu maupun dunia internasional, bahwa pemerintah indonesia adalah ciptaan jepang, berdasarkan diktator dan bukan atas dasar demokrasi.
  4. Sjahrir dimata sekutu, tidak termasuk black list sebagai kaki tangan jepang atau penjahat perang. dan sebagai sosialis, Sjahrir mempunyai kawan-kawan seperjuangan di luar negeri, baik di Eropa maupun Asia, sehingga dengan penampilan Sjahrir, diperhitungkan akan dapat menarik simpati dunia terhadap Republik Indonesia khususnya, dan dapat membantu cita-cita perjuangan rakyat Indonesia pada umumnya.
  5. Tampilan Sjahrir sebagai sosialis dan demokrat yang anti imperialisme, kapitalisme, dan fasisme dapat menghapus imej dunia yang tidak baik terhadap Republik Indonesia.

Politik Sjahrir yang mengedepankan jalur lunak (diplomasi), untuk sementara mengalah, dengan hanya mendapatkan pengakuan De Facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra lewat Linggarjati. Namun dengan diakuinya Republik Indonesia secara De Facto oleh sekutu hendak dijadikan fondasi untuk menyusun kekuatan kedalam, baik politik, militer, maupun ekonomi.[6]

Munculnya pro-kontra atas kebijakan kabinet Sjahrir tersebut membuat posisi kabinetnya goyah, kaum nasionalis dalam negeri dan kelompok Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka yang sejak awal menjadi oposisi bagi kabinet Sjahrir, menganggap perjanjian Linggarjati, yaitu hasil yang dicapai kabinetnya dalam politik diplomasi adalah sebuah "kecolongan" yang merugikan Republik.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :

Bagaimana Peranan Sutan Sjahrir dalam Revolusi Indonesia dan apa yang melatarbelakangi kebijakannya yang lebih memilih jalur diplomasi dari pada perang?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitan ini adalah :

  1. Untuk menjelaskan peranan dan pemikiran Sutan Sjahrir dalam Revolusi Indonesia.
  2. Untuk melengkapi penulisan sejarah mengenai Sutan Sjahrir.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan Judul, masalah yang dibahas akan dibatasi antara kurun waktu 1945-1949. Pembahasan diawali pada tahun 1945 karena pada waktu itu Indonesia merdeka. Pembahasan akan diakhiri pada tahun 1949 karena pada waktu itu Indonesia telah diakui secara De Jure oleh Belanda hingga terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). Untuk mendapatkan kejelasan kondisi revolusi, akan disinggung pula kondisi pada masa-masa sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, digunakan beberapa sumber berupa buku-buku yang diantaranya adalah biografi dan memoir dari pelaku sejarah yang mengalami peristiwa tersebut.

Adapun buku-buku yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah :

1. Salam, Solichin, Sjahrir : Wajah Seorang DIplomat, Jakarta : Centre for Islamic Studies an Research, 1990. Buku tersebut menceritakan tentang pemikiran-pemikiran dibalik kebijakan-kebijakan yang diambil Sjahrir melalui politik diplomasi.

2. Legge, J.D., Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta : Grafiti, 2003. Buku tersebut menceritakan tentang peranan kelompok Sjahrir dalam Revolusi Indonesia serta berbagai aspek yang membentuk pandangan-pandangan mereka.

3. Mrazek, Rudolf, Sjahrir : Politik dan Pengasingan di Indonesia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,1996. Buku tersebut menceritakan tentang Perjalanan politk dan biografi Sjahrir.

4. Sjahrir, Sutan, Renungan dan Perjuangan, Jakarta : Penerbit Djambatan dan Dian Rakyat, 1990. Buku tersebut menceritakan tentang surat-surat serta artikel-artikel yang ditulis oleh Sjahrir di penjara Cipinang, Boven Digoel, Banda Neira, Sukabumi, serta masa setelah kemerdekaan hingga tahun 1947. Buku ini berisikan pengalaman serta pemikiran-pemikiran Sjahrir.

5. Anwar, Rosihan H., Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir, Djakarta : PT. Pembangunan, 1966. Buku tersebut menceritakan tentang kejadian-kejadian pada dan menjelang hari pemakaman Sutan Sjahrir, buku ini menggambarkan bagaimana pandangan serta penghargaan orang terhadap Sjahrir, baik di dalam maupun di luar negeri.

6. Harjono, Anwar, Perjalanan Politik Bangsa : Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press, 1997. Buku tersebut menceritakan tentang Perjalanan politik Indonesia sejak jaman penjajahan, masuknya faham kebangsaan, Indonesia belajar memerintah, serta problematika didalamnya.

7. Anwar, Rosihan H., Singa dan Banteng : Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950, Jakarta : UI Press, 1997. Buku ini menceritakan tentang Hubungan Indonesia dan Belanda 1945-1950. Buku ini dibuat berdasarkan Kongres internasional sejarah “Singa dan Banteng” di Den Haag.

8. Lapian A.B dan P.J. Drooglever, Menelusuri Jalur Linggarjati : Diplomasi dalam Perspektif Sejarah, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 1992. Buku ini menceritakan tentang latar bealakang di buatnya perjanjian Linggarjati.

9. Hoesein, Rushdy, Kebijakan Politik Kabianet Sjahrir 1945-1947, Tesis program studi sejarah, program pascasarjana UI, 2003, tidak terbit. Tesis ini menceritakan tentang kebijakan-kebijakan terkait politik dan militer dalam tiga periode kabinet Sjahrir antara 1945-1947.

F. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Metode Sejarah yang terdiri dari empat tahap.

Tahap pertama adalah Heuristik yaitu mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang terdapat di perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Dari pencarian data-data didapatlah sumber primer, sekunder, dan tersier.

Sumber Primer yang diperoleh yaitu :

1. Mrazek, Rudolf, Sjahrir : Politik dan Pengasingan di Indonesia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,1996.

2. Anwar, Rosihan H., Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir, Djakarta : PT. Pembangunan, 1966.

3. Sjahrir, Sutan, Renungan dan Perjuangan, Jakarta : Penerbit Djambatan dan Dian Rakyat, 1990.

4. Anwar, Rosihan H., Singa dan Banteng : Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950, Jakarta : UI Press, 1997.

Sumber Sekunder yang diperoleh yaitu :

1. Salam, Solichin, Sjahrir : Wajah Seorang DIplomat, Jakarta : Centre for Islamic Studies an Research, 1990.

2. Legge, J.D., Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta : Grafiti, 2003.

3. Harjono, Anwar, Perjalanan Politik Bangsa : Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press, 1997.

4. Lapian A.b dan P.J. Drooglever, Menelusuri Jalur Linggarjati : Diplomasi dalam Perspektif Sejarah, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 1992.

Sumber Tersier yang diperoleh yaitu :

1. Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005.

2. Poesponegoro, Marwati Djoenoed, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta : Balai Pustaka, 1993.

3. Anthony J.S. Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Kesulitan yang terjadi di lapangan adalah keterbatas waktu untuk mencari sumber-sumber lain di Perpustakaan Nasional dan di Arsip Nasianal.

Setelah semua data terkumpul, dilakukanlah kritik sumber. Kritik sumber terdisi dari dua langkah Kritik internal mengenai kebenaran suatu data yang diperoleh di lapangan, dan kritik eksternal. Dari beberapa data yang di peroleh ada perbedaan-perbedaan informasi dari tiap-tiap buku. Dari tesis berjudul Kebijakan Politik Kabinet Sjahrir 1945-1947, dikatakan bahwa Kabinet Sjahrir berisikan teman-teman dekat Sjahrir yang tidak pernah bekerjasama dengan Jepang. Namun, Kabinet kedua dan ketiganya lebih bersifat nasional karena melibatkan semua unsur golongan. Sedangkan di dalam buku Perjalanan Politik Bangsa dikataan bahwa sebagian besar anggota Kabinet Sjahrir justru merupakan orang-orang yang telah bekerja sama dengan Jepang di masa pendudukan, dan dengan Belanda di masa penjajahan.[7] Maka dari itu, perlu dilihatlah susunan kabinet Sjahrir I.

Langkah selanjutnya setelah melakukan kritik terhadap data-data adalah melakukan interpretasi yaitu memberikan makna terhadap fakta sejarah yang telah ditemukan. Langkah terakhir adalah melakukan Historiogtafi, yaitu melakukan penulisan dari hasil penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Peranan Sutan Sjahrir dalam Revolusi Indonesia ini akan dibahas dalam empat bab yaitu sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Berisi latar belakang, batasan masalah, tujuan penelitian, dan metodologi penelitian.

BAB II Gambaran umum kondisi politik, social Indonesia pada masa pra-revolusi dan masa revolusi (1945-1949)

BAB III Peranan Sutan Sjahrir dalam Revolusi Indonesia serta pemikiran-pemikiran Sjahrir yang berkaitan dengan kebijakan yang diambil ketika Sjahrir menduduki Kabinet dalam system Demokrasi Parlementer hingga kejatuhan kabinetnya juga peranan Sjahrir setelah mundur dari cabinet hingga akhir masa revolusi.

BAB IV Penutup



[1] Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan, diterjemahkan H.B Jassin, Penerbit Djambatan dan Dian Rakyat, Jakarta, 1990, hlm. 268.

[2] Ibid., hlm. 270.

[3] Solichin salam, Sjahrir: Wajah Seorang Diplomat, CISR, Jakarta, 1990, hlm. 7.

[4] Anthony J.S. Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996 hlm. 18.

[5] op. cit., hlm. 13.

[6] Ibid., hlm. 14.

[7] Anwar Harjono, Perjalanan Politk Bangsa, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm. 86.

SUMBER TULISAN :

Selasa, 26 Mei 2009

Penyelesaian Sengketa Internasional

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan penyelesaian sengketa adalah untuk mencegah dan menghindari terjadinya peperangan antar negara dan penggunaan kekerasan. Karena apabila terjadi persengketaan dikhawatirkan dapat menimbulkan krisis dan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Penyelesaian sengketa secara damai harus dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa . usaha ini mutlak diperlukan sebelum persengketaan itu mengarah pada suatu pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Perang tidak dibenarkan oleh hukum internasional (renunciation of war) sebagaimana telah dituangkan dalam Bryan and kellogs pact dalam Paris Treaty 1928 .
Karena suatu negara memiliki hak untuk melindungi warga negaranya diluar negeri, maka negara itu berhak campur tangan secara diplomatik atau mengajukan suatu klaim untuk penyelesaian yang memuaskan (satisfaction) dihadapan suatu pengadilan arbitrase internasional apabila salah satu dari rakyatnya telah mendapat kerugian yang untuk mana negara lain bertanggung jawab. Negara penuntut itu dianggap telah dirugikan melalui rakyatnya atau, untuk menuntut haknya bagi jaminan dihormatinya kaidah-kaidah hukum internasional, dan sekali campur tangan itu dilakukan atau sekali klaim diajukan, maka persoalan itu menjadi suatu hal yang menyangkut kedua negara itu saja. Satu-satunya hak subjek yang dirugikan adalah menuntut melalui negaranya terhadap negara yang bertanggung jawab.
Orang-orang atau perusahaan yang atas namanya suatu negara berhak mengajukan klaim internasional terutama haruslah warga negaranya, tetapi dapat juga meliputi subjek-subjek “ yang dilindungi”, seperti orang-orang yang ditempatkan dibawah perlindungan diplomatik negara itu, dan bahkan orang-orang asing yang telah memenuhi hampir semua persyaratan naturalisasi. Dalam sejulah besar kasus pengadilan arbitrase internasional telah menerapkan kaidah bahwa orang yang dirugikan harus memiliki kebangsaan dari negara yang mengajukan klaim atau status lain yang diakui pada saat kerugian tersebut diderita dan harus mempertahankan status tersebut sampai saat klaim itu diputus, tetapi persyaratan-persyaratan dan perbaikan-perbaikan lain dalam kaitan kebangsaan pihak yang dirugikan juga telah diterapkan oleh arbitor-arbitor lain.
Apabila pihak yang dirugikan itu adalah suatu perusahaan atau korporasi, maka masalah itu juga diatur oleh norma “nasionalitas dari tuntutan” hanya negara yang menjadi kebangsaannya yang berhak mendukung klaim perusahaan atau korporasi itu, namun demikian kesulitan-kesulitan mungkin timbul dalam kasus yang disebut “triangular” (segitiga), yaitu:
a. Kerugian dalam hal pelanggaran hukum internasional yang dilakukan terhadap sebuah perusahaan yang berbadan hukum dan kantor terdaftarnya dinegara A.
b. Tindakan yang menimbulkan kerugian itu dilakukan oleh negara B, diman perusahaan tersebut melakukan operasi.
c. Para pemegang saham utama perusahaan tersebut adalah warga negara dan bertempat tinggal di negara C.
Apakah negara C berhak untuk mendukung klaim para pemegang saham yang menanggung kerugian akibat tindakan negara B?
Prinsip-prinsip yang mengatur keadaan demikian itu telah dijelaskan pada tahun 1970 oleh Internasional Court of Justice dalam Barcelona Traction Case (Belgia-Spanyol), dimana Mahkamah memutuskan putusan yang mendukung negara yang digugat, yaitu Spanyol. Berdasarkan pertimbangan bahwa Belgia tidak memiliki locus standi untuk mendukung klaim dari warga-warga Belgia, dihadapan Mahkamah yang menjadi pemegang saham dalam perusahaan yang menjadi perkara, yaitu Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited, karena perusahaan ini berbadan hukum Kanada dan dalam pengertian hukum internasional karenanya berkebangsaan Kanada. Dasar pemikiran yang dipakai oleh Mahkmah dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Hukum internasional terikat untuk menghormati tujuan umum dari kaida-kaidah sistem hukum nasional, yang kurang lebih menyatakan bahwa suatu pelanggaran terhadap hak-hak perusahaan oleh pihak-pihak luar tidak melibatkan tanggung jawab terhadap para pemegang saham, begitupun apabila kepentingan mereka terganggu oleh pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, kaidah umum hukum internasional tetap yaitu bahwa negara kebangsaan perusahaan itulah yang berhak melakukan perlindungan diplomatik untuk tujuan mengupayakan ganti rugi atas kesalahan internasional yang dilakukan terhadap perusahaan tersebut.
b. Suatu prinsip lain dapat berlaku apabila kesalahan itu ditujukan terhadap hak-hak langsung para pemegang saham itu sendiri, tapi dalam kasus yang tengah dihadapi ini Bekgia telah mengakui bahwa klaimnya itu tidak didasarkan atas suatu pelanggaran hak-hak langsung dari para pemegang saham, melainkan hanya terhadap tindakan tidak sah yang dilakukan di Spanyol terhadap perusahaan tersebut.
Kaidah umum mengenai pemberian hak eksekutif kepada negara kebangsaan perusahaan, dalam hal-hal tertentu mungkin sekali memberikan jalan bagi hak negara kebangsaan para pemegang saham, misalnya apabila perusahaan itu sendiri telah bubar, atau negara kebangsaan yang melindungi perusahaan itu tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan perlindungan diplomatik namun dalam kasus ini Barcelona Traction,Light and Power Company Limited tidak bubar sebagai sebuah badan hukum perusahaan di Kanada, juga pemerintah Kanada memiliki kemampua melaksanakan perlindungan diplomatik, meskipun karena alasan-alasannya sendiri dan campur tangan atas nama perusahaan itu telah diakhiri sejak tahun 1955.

BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM INTERNASIONAL BARCELONA TRACTION CASE

Barcelona Traction adalah suatu perusahaan yang mengawasi kegunaan cahaya dan energi di Spanyol dan disatukan di Toronto. Pada tanggal 12 september 1911 didirikan oleh Frederick Pearson. Untuk kepentingan menciptakan dan mengembangkan suatu produksi tenaga listrik dan distribusi sistem membentuk sejumlah cabang perusahaan di Catalonia ( Spanyol). Dimana mereka mempunyai beberapa kantor yang terdaftar resmi di Canada dan yang lainnya berada di Spanyol. Di tahun 1936 cabang perusahaan menyediakan bagian utama dari kebutuhan listrik Catalonia. Menurut Pemerintah Belgia, beberapa tahun setelah perang dunia pertama Barcelona Traction bagian saham menjadi sangat besar yang dikelola kebangsaan Belgia, tetapi Pemerintah Spanyol menentang bahwa pemegang saham kebangsaan Belgia adalah tidak terbukti. Kemudian pemeliharaan (menyangkut) Obligasi Barcelona Traction tertunda karena perang saudara Spanyol. Setelah peperangan itu, pengendalian devisa otoritas Spanyol menolak untuk memberi hak perpindahan dari mata uang asing yang penting bagi penerusan dari pemeliharaan uang sterling obligasi.sesudah itu,ketika Pemerintah Belgia mengeluh tentang ini, Pemerintah Spanyol menyatakan bahwa perpindahan tidak bisa diberi hak kecuali jika ini akan menunjukkan mata uang asing dapat digunakan untuk membayar kembali hutang timbul dari barang impor modal asing yang asli ke dalam Spanyol dan bahwa ini belum ditetapkan.

Di tahun 1948 tiga pemilik Spanyol dari Barcelona Traction baru-baru ini memperoleh obligasi uang sterling mengajukan petisi ke pengadilan ( Provinsi Tarragona) untuk suatu deklarasi memvonis perusahaan bangkrut, oleh karena kegagalan untuk membayar bunga pada obligasi itu.

Pada tanggal 12 Pebruari 1948 suatu keputusan diberikan dan mengumumkan perusahaan yang bangkrut dan memerintahkan perampasan dari aset Barcelona Traction dan juga dua cabang perusahaannya.

Patuh pada putusan Ini personil manajemen utama dari dua perusahaan dipecat atau dibubarkan dan para direktur Spanyol ditetapkan.

Segera setelah itu, ukuran ini diperluas kepada cabang perusahaan yang lain. Saham yang baru dari cabang perusahaan diciptakan, yang mana dijual oleh pelelangan publik di tahun 1952 kepada suatu perusahaan yang baru dibentuk yaitu Fuerzas Electricas de Cataluna, S.A. ( Fecsa), yang mana setelah itu diperoleh kendali sepenuhnya di bawah tangan Spanyol.

proses bekerja dibawa tanpa sukses di pengadilan Spanyol oleh berbagai orang atau perusahaan. Menurut Pemerintah Spanyol, 2,736 pesanan dibuat dalam kasus dan 494 putusan yang diberi oleh bawahan dan 37 oleh petinggi dipengadilan sebelum itu disampaikan kepada Mahkamah internasional. pengadilan menemukan bahwa di tahun 1948 Barcelona Traction, yang mana tidak pernah menerima suatu pesan pengadilan tentang proses kebangkrutan, dan tidak pernah diwakili sebelum pengadilan Reus, tidak mengambil prosedur di pengadilan Spanyol sampai 18 Juni dan tidak masuk suatu permohonan oposisi melawan terhadap putusan pengadilan tentang kebangkrutan dengan batas waktu delapan hari dari tanggal penerbitan dari putusan diletakkan di dalam perundang-undangan Spanyol. Pemerintah Belgia menentang, bagaimanapun, penerbitan dan pemberitahuan tidak mematuhi relevan ketentuan hukum dan batas waktu delapan hari itu tidak pernah dimulai. Penyajian dibuat kepada Pemerintah Spanyol oleh Inggris, Kanada, Amerika Serikat dan Pemerintah Belgia terhitung sejak 1948 atau 1949. Penempatan dari Pemerintah Kanada berhenti seluruhnya di tahun 1955.

Kepemimpinan Spanyol di tahun 1960 membuat bisnis lebih sulit untuk orang asing di Spanyol. Pemegang saham Belgia kehilangan uang dan ingin menggugat di Mahkamah internasional, tetapi pengadilan berpihak pada sisi Spanyol, memegang bahwa hanya kebangsaan dari perusahaan (Kanada) yang dapat menggugat. Kasus Negeri Belgia vs. Spanyol diputuskan di tahun 1970 pada topik ini Barcelona Traction sangat populer dalam Hukum internasional karena mempertunjukkan pentingnya perlindungan perusahaan nasional di dalam kertas ( atau nominal) terminologi atas kebangsaan efektif ( Sosial Pengepungan) di mana kepemilikan hidup. Kecuali jika suatu prinsip hukum mengijinkan suatu negera dapat menyertai suatu klaim nasional di ICJ, disana tidak bisa adanya suatu keikut sertaan.
Kasus ini sangat penting karena mempertunjukkan bagaimana konsep dari perlindungan diplomatik di bawah hukum internasional dapat berlaku sama untuk perusahaan seperti individu. juga memperluas dugaan dari kewajiban berhutang erga omnes kepada semua masyarakat internasional.

Dalam pertimbangan kedua tahap kasus mengenai Barcelona Traction, Light and Power Company,Limited ( Negeri Belgia vs Spanyol), pengadilan menolak klaim Belgia oleh 15 suara menjadi satu.
Klaim yang diperkarakan pada tanggal 19 Juni 1962, muncul ke luar dari putusan hakim dalam kebangkrutan di Spanyol yaitu Barcelona Traction, suatu perusahaan yang bekerjasama dengan Kanada. Obyek nya akan mencari perbaikan untuk kemungkinan kerusakan yang dituduh oleh Negara Belgia untuk ditopang oleh pemegang saham kebangsaan Belgia di perusahaan, sebagai hasil tindakan dikatakan bertentangan dengan hukum internasional dilakukan ke arah badan perusahaan dari negara Spanyol.
Pengadilan menemukan bahwa Negara Belgia kekurangan jus standi untuk berlatih perlindungan diplomatik untuk pemegang saham di suatu perusahaan Kanada berkenaan dengan mengukur dengan perusahaan di Spanyol.

Hakim Petrén dan Onyeama menambahkan catatan suatu deklarasi sambungan kepada Putusan, Hakim Lachs menambahkan catatan suatu deklarasi. Presiden Bustamante y Rivero dan Hakim sir Gerald Fitzmaurice, Tanka, Jessup, Morelli, Padilla Nervo, Gros dan Ammoun yang ditambahi catatan Pendapat Terpisah.

PUTUSAN PENGADILAN

Pengadilan memandang pada jumlah yang agung pada bukti dalam bentuk dokumen, yang disampaikan oleh parties dan secara penuh menghargai pentingnya permasalahan yang diangkat dari undang-undang yang mana adalah akar dari klaim Belgia dan terkait pengingkaran terhadap keadilan menurut dugaan orang yang dilakukan oleh bagian dari negara Spanyol itu.Bagaimanapun, pemilikan oleh Pemerintah Belgia dari suatu hak perlindungan adalah suatu syarat mutlak untuk pengujian permasalahan seperti itu . semenjak tidak ada jus standi sebelum pengadilan menetapkan, itu bukan untuk pengadilan untuk mengucapkan atas aspek lain yang menyangkut kasus ini.
Mahkamah tidak menerima beberapa dalil tertentu yang diajukan, yaitu:
1. apabila penenaman modal itu menjadi bagian dari sumber-sumber daya ekonomi nasional suatu negara dan hal yang merugikan terhadap penanaman modal ini membawa akibat yang bertentangan terhadap hak-hak negara tersebut untuk memungkinkan para warga negaranya menikmati beberapa standar perlakuan tertentu, maka negara yang bersangkutan dapat mengajukan klaim karena pelanggaran hokum internasional yang dilakukan terhadapnya. Suatu klaim yang memiliki sifat demikian harus didasarkan atas traktat atau perjanjian khusus, yang mana hal ini tidak ada diantara Belgia dan Spanyol.
2. Karena alasan-alasan keadilan (equity), suatu negara akan memiliki hak dalam beberapa kasus untuk melakukan perlindungan terhadap warga negaranya yang menjadi pemegang saham-saham dalam suatu perusahaan, yang menjadi korban pelanggaran hukum internasional. Suatu alasan pembenar bagi keadilan yang dikemukakan, itu akan membuka pintu bagi klaim-klaim yang bersaing di pihak negara-negara yang berbeda, yang dengan itu menciptakan ketiadaan jaminan dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional.
Pengaruh yang menguntungkan dari keputusan Mahkamah tersebut selanjutnya adalah bahwa pengadilan internasional mesti segan untuk “menebus selubung perusahaan” dengan maksud untuk memperbolehkan suatu negara selain negara kebangsaan perusahaan mengupayakan ganti rugi karena suatu kesalahan internasional telah dilakukan terhadap perusahaan itu.
maka, pengadilan menolak klaim Pemerintah Belgia oleh 15 suara menjadi 1, 12 suara mayoritas yang didasarkan pada pertimbangan diperkenalkan di atas.

MAKALAH
HUKUM INTERNASIONAL
PENYELESAIAN SENGKETA
BARCELONA TRACTION CASE

UNIVERSITAS PANCASILA
FAKULTAS HUKUM

http://one.indoskripsi.com/node/3051

Penyelesaian sengketa Internasional Dalam Kerangka PBB

Tujuan PBB seperti yang diamatkan dalam Pasal 1 Piagam PBB, adalah untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Adalah kewajiban PBB untuk mendorong agar sengketa- sengketa diselesaikan secara damai. Dua tujuan tersebut adalah sebuah reaksi yang terjadi akibat pecahnya Perang Dunia II. Adalah upaya PBB agar perang dunia baru tidak kembali terjadi. Adalah kerja keras PBB agar sengketa yang terjadi antar Negara dapat diselesaikan sesegera mungkin secara damai.1

Langkah – langkah lebih lanjut tentang yang harus dilakukan oleh negara –negara anggota PBB guna penyelesain sengketa secara damai diuraikan dalam Bab IV (Pacific Settlement of Disputes)

Terkait hal –hal tersebut PBB mempunyai berbagai cara yang terlembaga dan termuat didalam Piagam PBB. Di samping itu PBB mempunyai cara informal yang lahir dan berkembang dalam pelaksanaan tugas PBB sehari –hari. Cara –cara ini kemudian digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul diantara negara anggotanya.

Dalam upayanya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki empat kelompok tindakan, yang saling berkaitan satu sama lain dan dalam pelaksanaanya memerlukan dukungan dari semua anggota PBB agar dapat terwujud. Keempat kelompok tindakan itu adalah sebagai berikut.2

1. Preventive Diplomacy

Preventive Diplomacy adalah suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengkta di antara para pihak, mencegah meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan suatu sengketa. Cara ini dapat dilakukan oleh Sekjen PBB, Dewan Keamanan, Majelis Umum, atau oleh organisasi –organisasi regional berkerjasama dengan PBB. Misalnya upaya yang dilakukan oleh Sekjen PBB sebelumnya Kofi Annan dalam mencegah konflik Amerika Serikat – Irak menjadi sengketa terbuka mengenai keenganan Irak mengizinkan UNSCOM memeriksa dugaan adanya senjata pemusnah massal di wilayah Irak, walaupun upaya tersebut akhirnya menemui jalan buntu.

2. Peace Making

Peace Making adalah tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat, khususnya melalui cara –cara damai seperti yang terdapat dalam Bab VI Piagam PBB. Tujuan PBB dalam hal ini berada diantara tugas mencegah konflik dan menjaga perdamaian. Di antara dua tugas ini terdapat kewajiban untuk mencoba membawa para pihak yang bersengketa menuju kesepakatan dengan cara –cara damai.

Dalam perananya disini, Dewan Keamanan hanya memberikan rekomendasi atau usulan mengenai cara atau metode penyelesaian yang tepat setelah mempertimbangkan sifat sengketanya.3

3. Peace Keeping

Peace Keeping adalah tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Biasanya PBB mengirimkan personel militer, polisi PBB dan juga personel sipil. Meskipun sifatnya militer, namun mereka bukan angkatan perang.

Cara ini adalah suatu teknik yang ditempuh untuk mencegah konflik maupun untuk menciptakan perdamaian. Peace Keeping merupakan “penemuan” PBB sejak pertama kali dibentuk, Peace Keeping telah menciptakan stabilitas yang berarti diwilayah konflik. Sejak 1945 hingga 1992, PBB telah membentuk 26 kali operasi Peace Keeping. Sampai Januari 1992 tersebut, PBB telah menggelar 528.000 personel militer, polisi dan sipil. Mereka telah mengabdikan hidupnya dibawah bendera PBB. Sekitar 800 dari jumlah tersebut yang berasal dari 43 negara telah gugur dalam melaksanakan tugasnya.

4. Peace Building

Peace Building adalah tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur –struktur yang dan guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik. Peace Building lahir setelah berlangsungnya konflik. Cara ini bisa berupa proyek kerjasama konkret yang menghubungkan dua atau lebih negara yang menguntungkan diantara mereka. Hal demikian tidak hanya memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan sosial, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan yang merupakan syarat fundamental bagi perdamaian.

5. Peace Enforcement

Disamping keempat hal tersebut, sarjana Amerika Latin, Eduardo Jimenez De Arechaga, memperkenalkan istilah lain yaitu Peace Enfocement (Penegakan Perdamaian). Yang dimaksud dengan istilah ini adalah wewenang Dewan Keamanan berdasarkan Piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap perdamaian atau adanya tindakan agresi. Dalam menghadapi situasi ini, berdasarkan Pasal 41 (Bab VII), Dewan berwenang memutuskan penerapan sanksi ekonomi, politik atau militer. Bab VII yang membawahi Pasal 41 Piagam ini dikenal juga sebagai “gigi”-nya PBB (the “teeth” of the United Nations)4

Contoh dar penerapan sanksi ini, yaitu Putusan Dewan Keamanan tanggal 4 November 1977. putusan tersebut mengenakan embargo senjata terhadap Afrika Selatan berdasarkan Bab VII Piagam sehubungan dengan kebijakan Negara tersebut menduduki Namibia (UNSC Res.418[1971]).

Termuat dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam yang menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa “shall, first of all, seek a resolution by negotiation…,” tersirat bahwa penyelesaian sengketa kepada organ atau badan PBB hanyalah “cadangan”, bukan cara utama dalam menyelesaikan suatu sengketa.

Namun demikian, ketentuan tersebut tidak ditafsirkan manakala sengketa lahir. Para pihak tidak boleh menyerahkan secara langsung sengketanya kepada PBB sebelum semua cara penyelesaian sengketa yang ada sudah dijalankan. Pada kenyataanya bahwa organ utama PBB dapat secara langsung menangani suatu sengketa apabila PBB memandang bahwa suatu sengketa sudah mengancam perdamaian dan keamanan internasional.

Organ – organ utama PBB bedasarkan Bab III (Pasal 7 ayat (1)) Piagam PBB terdiri dari Majelis Umum , Dewan Keamanan, ECOSOC, Dewan Peralihan, Mahkamah Internasional dan Sekertariat. Organ-organ ini berperan penting dalam melaksanakan tugas dan fungsi PBB. Terutama dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional, sesuai dengan kaedah keadilan dan prinsip hukum internasional.5

1 J.G. Merrills, International Disputes Settlement, Cambrige: CambrigeU.P., 2nd ed., 1995,hlm.179

2 Boutros Boutros-Ghali, An Agenda for Peace, New York: United Nations,1992,hlm.12

3 Eduardo Jimenez De Arechaga, United Nations Security Council, Encylopedia of Public International Law, Instalment 5 1983, hlm.346

4 Thomas M. Franck and Faiza Patel, UN Police Action in Lieu of War: The Order Chapters,85:1 AJIL,65 (1991)

5 Huala Adolf, SH.,LL.M., Ph.D, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Sinar Grafika. Jakarta

http://klinikhukum.wordpress.com/2007/07/25/penyelesaian-sengketa-internasional-dalam-kerangka-pbb/

Proses Pengesahan perjanjian Internasional Menjadi Undang Undang Indonesia

I. Latar Belakang

Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukum merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional.
Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.

Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori voluntarisme,[1] yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan teori objektivis[2] yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.[3]

Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.

II. Teori Keberlakuan Hukum Internasional

A. Aliran Dualisme

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.[4]

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:

  1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;
  2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
  3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.
  4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.[5]

Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.

Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.
B. Aliran Monisme

Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.

Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.[8] Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut:

  1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;
  2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.[9]

Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.

III. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional

Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.[11]

Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:

  1. Perjanjian Internasional;
  2. Kebiasaan Internasional;
  3. Prinsip Hukum Umum;
  4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.[12]

Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.[13]

Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.

Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.[14]

Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.[15]

Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.[16] Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.[17] Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.

Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.

Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:

  1. Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
  2. Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
  3. Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
  4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
  5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).

IV. Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[18]

Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19] Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:

  • Ketentuan Umum
  • Pembuatan Perjanjian Internasional
  • Pengesahan Perjanjian Internasional
  • Pemberlakuan Perjanjian Internasional
  • Penyimpanan Perjanjian Internasional
  • Pengakhiran Perjanjian Internasional
  • Ketentuan Peralihan
  • Ketentuan Penutup[20]

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:

  1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
  2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
  3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
  4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers).[21] Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.[22]

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden.[23] Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.[24] Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.[25]
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:

  • masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
  • perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
  • kedaulatan atau hak berdaulat negara;
  • hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
  • pembentukan kaidah hukum baru;
  • pinjaman dan/atau hibah luar negeri.[26]

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:

”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”

Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

***

Catatan: Tulisan ini merupakan resume dari salah satu hasil penelitian yang dibuat penulis bersama tim lainnya dalam "Pengujian Undang-undang yang Mensahkan Perjanjian Internasional".

Endnotes:

[1] Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pasa kehendak negara ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai pemikiran ilmu hukum di Eropa pada abad ke 19.
[2] Teori ini menghendaki adanya suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional. Akhir dari puncak kaidah hukum terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi. Kelsen dianggap sebagai bapak dari mazhab Wina, yang mempengaruhi teori Objektivis ini.

[3] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Jakarta 2003, hal 56
[4] I A Shearer, Starke’s International Law, 11th ed., Butterworths, USA, 1984, hal 64, Aliran ini pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Para pemuka aliran ini adalah Triepel dan Anziloti.

[5] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumi, Bandung 2003, hal 57-56.

[6] Loc. cit.

[7] Ibid, hal 65.

[8] Op. cit., hal 61

[9] Ibid

[10] Ibid, hal 62, Paham ini dikembangkan oleh mazhab Wina (Kunz, Kelsen dan Verdross)

[11] Ibid, hal 114

[12] Shearer, hal 29

[13] Op. cit., hal 117

[14] Vienna Convention on the Law of Treaties, Vienna 1969

[15] Op. cit., hal 119

[16] Ibid

[17] Ibid

[18] Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.

[19] Loc. cit. Lihat: Catatan Kaki No. 5.

[20] Indonesia (a), Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185.

[21] Ibid, Pasal 7.

[22] Ibid, Pasal 8

[23] Ibid, Pasal 9

[24] Ibid, Pasal 10

[25] Ibid, Pasal 11

[26] Ibid, Pasal 10



feedblitz.com

Prev: UNDANG UNDANG RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL
Next: CINDONESIA
http://tholous.multiply.com/journal/item/9