Selasa, 26 Mei 2009

Perjanjian Internasional dalam sistem hukum UUD 1945

Oleh Harjono

Pengantar redaksi:

Artikel ini cuplikan makalah Dr Harjono SH MCL, dosen FH Unair, mantan wakil ketua Mahkamah Konstitusi RI, yang disampaikan dalam ”Lokakarya Evaluasi UU Perjanjian Internsional” diselenggarakan Kerjasama Departemen Luar Negeri RI dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya 18 Oktober 2008. Media online GagasanHukum.WordPress.Com memuatnya bersambung. Bagian I edisi Kamis 4 Desember 2008. Bagian II edisi Kamis 11 Desember 2008. Bagian III edisi Kamis 18 Desember 2008. Bagian IV edisi Kamis 25 Desember 2008. Bagian V edisi Kamis 1 Januari 2009.

Perjanjian internasional Sebagai Sumber Hukum Bagi Putusan Pengadilan.

Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumber hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil, yaitu peraturan perundang-undangan yang ada.

Sementara itu hakim dilarang menolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur. Oleh karena itu hakim dapat dilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang salah satu diantaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena dianggap sebagai adil.

Kebiasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat internasional. Perjanjian internasional yang bersifatmultilateral dan kemudian banyak diratifikasi oleh negara-negara di dunia, maka secara substantif dapat dianggap sebagai mempunyai nilai keadilan yang diterima oleh banyak Negara. Oleh karenanya hakim nasional dapat mengambil substansi yang terdapat dalam perjanjian internasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu perjanjian internasional tetapi atas pertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah banyak negara menerimanya dengan cara melakukan ratifikasi.

Dengan demikian banyaknya negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa substansi yang diratifikasi telah diterima sebagai sesuatu yang layak dan adil. Dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh hukum nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya.

Disamping sumber hukum materiil, hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalah undang-undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman hakim bahkan wajib untuk mendasarkan putusannya pada undang-undang.

Kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai sumber hukum bagi hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil perjanjian internasional yaitu undang-undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan perjanjian internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat perjanjian internasionalyaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan.

Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai sumber hukum didasarkan atas bentuk formil undang-undang pada hal bukan.

Status perjanjian internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi lah yang menjadikan perjanjian internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkan secara jelas perbedaan tersebut.

Law atau statute yang di buat oleh congress merupakan sumber hukum bagi hakim, sedangkan perjanjian internasional tidak dituangkan dalam bentuk law atau statute yang dibuat oleh Congres, tetapi perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan senat. Namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa perjanjian sebagai the law of the land.

Meskipun perjanjian internasional karena sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihatsifat masing-masing norma yang terdapat dalam perjanjian internasional. Sangatlah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan oleh pasal-pasal dari perjanjian internasional mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang berbeda.

Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau article III dari Convention on Recognatioan and Enforcement of Foreign Arbitral Award 1958 yang berbunyi ;” Each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule of procedure territory where the award is relied upon under the condition laid down in the following article”. Apabila Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia dan oleh kerenanya mempunyai kekutan mengikat maka seharusnya hakim menerapkan langsung isi Pasal ini jika ada permintaan pelaksanaan putusan arbitrasi asing asalkan dilaksanakan “ under the condition laid down in the following article “ sebagaimana disyaratkan Article III tersebut.

Hal demikian tentunya akan berbeda dengan pelaksanaan dari article yang terdapat dalam United Nations Convention Againts Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini yang berjudul Ilicit Enrichment menyatakan ; “Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measure as may be necessary to establish asa criminal offence when committed intentionally, illicit enrichment , that is , a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.”

Pasal atau article ini tidak dapat diterapkan oleh hakim karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah legislative lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichmentsebagai perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat public yang sangat mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan dengan gaji resminya.

Pengetahuan hakim tentang perjanjian internasional diperlukan manakala hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan perjanjian internasional.

Kesimpulan

Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan hukum perjanjian internasional dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut;

1. sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan keluar, perjanjian internasional seharusnya berwadah hukum Kepurusan Presiden karena Presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain.

2. adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional adalah UU, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan UU.

3. pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk perjanjian internasional lain, karena UUD menganggap penting keterlibatan DPR untuk memutuskan hal-hal yang berakibat pada beban negara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan perubahan UU, byukan didasarkan atas pembedaan antara perjanjian internasional public dan privat.

4. perjanjian internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi sumber hukum dalam hukum nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk UU, sehingga perjanjian internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum UU.

5. Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang terdapat perjanjian internasional yang menimbulkan hakdan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan,

6. pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk atau wadah UU menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera di buat aturan yang baru.

http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/01/01/perjanjian-internasional-dalam-sistem-uud-1945-bagian-v/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar